Terik membakar Pulau Kangge, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa pagi, 12 Oktober lalu. Di tepi sumur Liang Barung, Kampung Kayan, Ny Aisyah (38) dengan tekun mencuci pakaian. Satu demi satu warga Kampung Kangge ini mencomot dan mengucek selembar pakaian dari tumpukan busana yang menggunung di sampingnya.
Setelah hampir dua jam berkutat mencuci, Ny Aisyah lalu menjemur cuciannya. Kemudian ia membuat api unggun kecil untuk memasak dua bungkus mie instan bawaannya. Bekal itu dimakan bersama dua pencuci lain asal sekampungnya, Fatimah dan Syarifah. Kenyang, mereka beristirahat sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Satu jam kemudian, semua cucian kering. Ketiga perempuan itupun membawanya pulang, menyusuri lereng bukit sejauh kurang lebih 3 km. Sekitar pukul satu siang, atau 5 jam sejak meninggalkan rumah, Ny Aisyah dan Fatimah serta Syarifah tiba di rumah masing-masing. Segunung pakaian keluarga yang terhimpun selama sepekan telah siap dikenakan kembali.
Itulah ritual kaum perempuan Pulau Kangge, Kecamatan Pantar Barat Laut, Kabupaten Alor, NTT. Minimnya air bersih (fresh water), membuat mereka harus berjibaku mencari ke sejumlah sumur.
Dua tahun lalu, Ustadz Gunawan Bala sukses memimpin pemuda setempat menggali sumur di Kampung Kangge. Tepat jelang Ramadhan waktu itu, air tawar mereka temukan di kedalaman sumur 7 meter. ‘’Air bersih keluar setelah kami berhasil mengangkat batu gunung sebesar gajah,’’ kenang da’i Dewan Da’wah ini.
Namun sejak setahun terakhir, sumur itu mengering. Kini, yang keluar sedikit air payau. Sebagian penduduk masih memanfaatkannya untuk mencuci dan mandi.
Sebuah sumur lain pernah digali. Tapi, sampai kedalaman 5 meter, yang keluar air asin. Dalam kondisi kepepet seperti sekarang ini, sumur tersebut tetap dimanfaatkan sebagian warga.
Satu lagi sumur sempat coba digali. Tapi, penduduk frustrasi setelah sampai 7 meter air tak jua didapat. Sumur mangkrak itu kini jadi tempat penimbunan sampah.
Apa boleh buat, warga Kangge yang berjumlah 238 KK atau 1200-an jiwa, harus mencari air bersih ke Kampung Kayan. Kebanyakan harus jalan kaki sejah 3 km. Yang punya uang, menitip beberapa jirigen ke pemilik perahu motor yang hendak mengambil air lewat jalur laut. Ada juga yang menempuh jalur ini dengan sampan dayung.
Menurut Gunawan, kekeringan di Pulau Kangge sebenarnya bisa diatasi. Pemerintah sempat membuat gardu mesin penawar air laut di kampung ini. Namun, sejak dibangun setahun lalu sampai sekarang, gardu dan mesin penawar tersebut tidak difungsikan. Mangkrak begitu saja, dengan kondisi tak terurus. Alasannya, menurut Gunawan yang menanyakan pada Pemda setempat, tidak ada teknisi yang mengoperasikan.
Pulau Kangge, salah satu titik yang mengalami kekeringan di NTT. Menurut laporan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, kekeringan melanda sedikitnya 199 desa yang tersebar di tujuh kabupaten dipropinsi ini. Paling parah terjadi di desa-desa di Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Utara, dan Ngada. Lainnya tersebar di Belu, Flores Timur, Lembata, dan Kupang.
Warga Pulau Kera, yang terletak di seberang Kota Kupang, harus berperahu sekitar 30 menit ke Darmaga Oeba Kupang untuk membeli air bersih. ‘’Satu jirigen air isi 20 liter harganya Rp 2000, kalau 15 liter harganya Rp 1500. Ongkos perahunya Rp 6000/orang pergi-pulang,’’ terang Arsyad Abdul Latief, tetua Pulau Kera yang dihuni 78 KK atau 315 jiwa.
Moyang mereka konon sudah menghuni pulau kecil itu sejak 1919. Tapi, hingga kini warga Pulau Kera bagai penduduk Jalur Gaza.
Bila musim pemilu dan pilkada tiba, 78 KK warga P Kera diboyong ke Pulau Solamu tetangganya. Dengan upah sepuluh duapuluh ribu, mereka diarahkan untuk berpesta demokrasi memberi suara pada kontestan tertentu. Namun setelah itu, mereka kembali sebagai warga tanpa kewarganegaraan. Sebab secara administratif, P Kera tak diakui sebagai bagian dari Kupang maupun desa-desa pulau di sekitarnya. Walaupun P Kera masih dalam batas administratif Kota Kupang. Walhasil warga P Kera tak ber-KTP dan tanpa pemerintahan. Tidak ada kepala desa, kecuali Arsyad yang juga imam masjid Daarul Bahr.
Bangunan termegah di P Kera adalah Masjid satu-satunya dan rumah seorang pendatang yang bertembok batako. Lainnya, sebanyak 315 jiwa, berhimpitan di bawah naungan tenda plastik atau gubug beratap daun rumbia.
Mereka korban pemiskinan struktural yang nyata. Para nelayan itu dimodali tauke Kupang untuk melaut, tapi hasilnya hampir semua untuk si tauke. Melaut tiga hari berturut-turut dengan awak 4 orang, paling banter masing-masing nelayan mendapat Rp 50.
Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT, Nico Bala Nuhan, mengatakan, kekeringan yang berdampak gagal panen di NTT mengakibatkan sedikitnya 30.620 keluarga atau sekitar 91.306 jiwa terancam kelaparan.
Sempat terkabarkan, enam warga Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), tewas kelaparan. Mereka penduduk Amanuban Timur dan Amanuban Selatan.
‘’Saya tidak tahu persis jumlah yang mati kelaparan. Tapi memang penduduk di Amanuban sudah sangat krisis pangan. Bahkan makanan pokok jagung titi (tumbuk) pun sudah menipis,’’ tutur Ustadz Ramli, da’i Dewan Dakwah yang bersama aktivis Hidayatullah, Persis, MUI, dan Bazda Kupang belum lama ini mengunjungi jamaah Amanuban untuk menyampaikan bantuan sembako.
Ramli menambahkan, bantuan tahap kedua akan disampaikan November 2011 ini, bertepatan dengan pengiriman hewan kurban di sana.
Direktur LAZIS Dewan Da’wah, Ade Salamun, mengingatkan, masih banyak komunitas muslim yang kekurangan air bersih. Karena itu, LAZIS mengajak masyarakat untuk mendukung Program Wakaf Sumur buat Sedulur. Setelah sukses menyediakan sumur berkedalaman 210 meter dengan debit 5,5 liter/detik di lereng Merapi di Bumiharjo, Klaten, Jawa Tengah, LAZIS mengajak para muhsinin menyediakan sumur bagi sedulur di Timur. (bowo) -- sumber : website DDII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar