Rabu, 04 Desember 2013

MUSLIM TIMOR SEJATI

Aku anak asli Timor. Kau tahu di mana letak pulau Timor? Sulit menemukannya dalam peta bukan? Di bagian tenggara Indonesia, dekat Australia di situ ada sebuah pulau kecil yang kini tercabik menjadi dua negara. Pulau itu adalah pulau Timor, yang menjadi Negara Timor Leste dan bagian baratnya Indonesia.

Di situlah aku lahir dan dibesarkan. Kau salah kalau menduga bahwa aku orang kristen. Memang benar di Nusa Tenggara Timur sini, mayoritas penduduknya beragama kristen. Yang memeluk agama lain selain Katolik dan Protestan hanya segelintir orang, dan itupun biasanya adalah pendatang. Lebih khusus lagi, sesamaku yang muslim pasti tinggalnya di daerah pantai, karena mereka bermoyangkan para pelaut dari Bima, Nusa Tenggara Barat atau dari Makassar, Sulawesi.

Tapi, aku dan keluargaku sungguh berbeda. Leluhurku telah menjadi muslim, jauh sebelum penjajah Belanda memaksa orang-orang Timor untuk memeluk Agama Ratu Wilhelmina yang disebarkan Zending Protestan. Di Timor Tengah Selatan (TTS) saat itu banyak orang kafir, dan beberapa orang katolik binaan Misi Portugis dipaksa Belanda untuk memeluk agama Kristen, tapi moyangku memilih jadi Muslim.

Suatu saat kau boleh menemuiku di tempat kelahiranku di sini, bersama saudara-saudariku yang lainnya. Kami tinggal di pedalaman Timor Tengah Selatan, yang jauh dari pengaruh "orang luar" atau yang dikenal dengan istilah "kase".

Kau datang ke kota Soe, lantas menumpang bus ke tempatku. Tidak jauh, cuma dua jam perjalanan dari Ibukota Kabupaten TTS. Kau akan memasuki sebuah tempat bernama Oeekam. Itulah pusat kecamatan Amanuban Timur. Di situ juga pusat budaya muslim kami.

Kau akan menemukan sebuah masjid besar, setelah sepanjang perjalanan meletihkan tadi kau cuma berjumpa dengan deretan gereja, kecil maupun besar, dengan gedung permanen maupun darurat. Di dusun kecil inipun akan kau temukan sebuah pesantren yang konon adalah pesantren terbesar di Pulau Timor. Kau tak juga mau percaya? Kau pasti berpikir aku mulai 'ngarang'....

Tapi, dusunku entah kenapa sering dinamai dusun santri oleh teman-temanku yang kristen. Memang jumlah kami di sini tak sebanyak mereka yang kristen tapi sesungguhnya, kami tak merasa asing satu sama lain karena kami percaya leluhur kami satu, kami adalah anak-anak dari nai dan bei yang mendiami puncak bukit Tunbes, yang dahulu kala menjadi pusat Kerajaan Amnuban.

Dulu ketika di dusun kami belum ada sekolah muslim, aku dan teman-temanku bersekolah di dusun tetangga, sebuah sekolah katolik. Di sana aku berteman dengan anak-anak katolik dan hingga sekarang kami masih akrab dan saling mengirimkan khabar. Kukira kau akan mendapatkan cerita ini dari seorang temanku pula, yang dulu saban jam istirahat sekolah, asyik membolak-balik buku-buku pelajaran agama Islamku. Dia tertarik dengan tingkah orang bersholat, dan selalu berlama-lama menatap tulisan Arab yang menurutnya seperti tulisan para malaikat.

Sejak tahun 1990 ketika Pondok Pesantren Al-Miftahuddin mulai dibangun di Oeekam, banyak dari adik-adikku mulai meninggalkan sekolah katolik itu dan masuk ke Madrasah Ibtidaiyah di Oeekam. Semakin hari semakin banyak anak dari kampung-kampung tetangga yang akhirnya berkumpul di Pondok Pesantren itu hingga kini dusun Oeekam benar-benar telah menjadi dusun santri.

Kerusuhan SARA yang menggoncang negara Indonesia tercinta di tahun 1998, berdampak pula di pelosok sini, Oeekam. Saat itu, teman-teman kami yang pendatang memang dikejar oleh orang-orang yang mengaku penduduk asli, orang Timor sejati. Para pedagang dari Makassar yang saat itu banyak menetap di Oeekam akhirnya angkat kaki.

Ketika kerusuhan itu terjadi ayah saya tenang-tenang saja dan menasehati kami semua agar jangan terprovokasi oleh tindakan orang-orang yang mau mengadu domba. Keluarga saya berasal dari salah satu suku terkenal, suku terhormat yang cukup disegani di sekitar Tunbes ini, dan juga dikenal sebagai tuan tanah. Kerusuhan itu sama sekali tak berdampak bagi kerukunan beragama kami.

Pada tahun 1994, ketika orang-orang katolik mulai membuka paroki di sini, lengkaplah dusunku, dusun Oeekam sebagai dusun Bhineka Tunggal Ika. Di sebuah dusun nun terpencil di pedalaman Timor Tengah Selatan, terdapat hampir semua agama. Ada masjid, ada gereja dan ada pura untuk orang-orang Hindu yang seluruhnya adalah anggota Polri.

Di sini ketika terdapat kegiatan menyongsong hari besar agama manapun kami semua selalu berpartisipasi. Ketika ada kunjungan pastoral dari Uskup Agung Kupang, pasti ada lagu kasidah dari remaja mesjid dan vokal grup dari pemuda Gereja. Begitupun kalau ada lebaran, yang datang menyalami kau justru adalah orang-orang Kristen.

Begitu indahnya kerukunan umat beragama di sini sehingga kupikir suatu saat mungkin, pertemuan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Propinsi NTT seharusnya diadakan di tempat ini, di dusunku yang terpencil. Di sini, sebenarnya model yang diidam-idamkan para pembesar agama sudah sedang terjadi. Kami bukan sekedar bertoleransi. Kehidupan kami sendiri telah membuktikan bahwa dalam keberbedaan kami sanggup berdialog dengan penuh empati.

Sayang, mereka mungkin saja enggan datang karena jalan masuk ke sini memang sangat buruk. Mereka yang kebanyakan adalah para pejabat itu pasti enggan terguncang-guncang oleh bebatuan jalanan dan jalan yang sering-sering putus. Kasihan, apakah tanah tumpah darahku sulit diperhatikan karena di sini ada kami warga minoritas di TTS/NTT? Entahlah, dan kuharap ini tidak kau anggap sebagai provokasi....

Itulah kisahku anak Muslim Timor sejati. Aku bangga memakai nama Arab diikuti nama suku yang "Timor banget". Tapi kau harus janji padaku, suatu saat kau mesti berkunjung ke dusun santri Oeekam. Datang dan kau buktikan sendiri!


***Mengenang sobat-sobat muslim masa kecilku dulu, miss u so much!

http://romopatris.blogspot.com/2010/10/muslim-timor-sejati.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar